KI SONGGOLANGIT
dan WATU GILANG
P
|
loso Kerep adalah sebuah tempat yang di keramatkan oleh warga desa
Purwosari Kecamatan Kwadungan. Tempat tersebut terletak persis di tengah tengah
desa Purwosari yang dulunya merupakan sebuah desa terpencil, penduduknya masih
dapat dihitung dengan jari. Di desa itu terdapat sebuah padepokan yang disebut
dengan padepokan Ploso Kerep. Mengapa dikatakan Ploso Kerep, karena di situ
banyak ditumbuhi oleh batang Ploso yang konon merupakan jenis tumbuhan yang
dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit (dalam bahasa setempat disebut
Zuleten semacam cacar) yang biasa menyerang pada anak-anak, dan tumbuhan
tersebut sangat lebat, maka oleh orang setempat dikatakan kerep (lebat)
akhirnya menjadi Ploso Kerep. Padepokan Ploso Kerep dimiliki oleh seorang kakek
yang diberi julukan Mbah Ploso.
Mbah Ploso meski sudah tua tapi sangat sakti, karena semenjak kecil mbah
Ploso hobynya adalah topo broto. Jadi tak aneh kalau dia memiliki beberapa
pengikut yang ingin nyecep ilmu. Mbah ploso hidup dengan Putra satu-satunya
yang bernama Songgo. Karena Songgo adalah putra dari pertapa sakti, maka Songgo
merupakan pemuda yang paling sakti di Desa itu.. Pengikut mbah Ploso jumlahnya
tidak banyak, namun kalau di adu tanding... mereka terlihat sakti-sakti juga.
Bahkan menurut sejarahnya Padepokan Ploso Kerep ini merupakan cikal bakal
penduduk desa Purwosari.
Perkembangan desa Purwoari berawal dari penggembaraan
seseorang yang bernama Tinggolo, dia bersama istri dan anaknya yang masih kecil
sekitar berumur 5 tahun. Agar perjalanan lebih aman, maka Tringgolo mengajak 2
temanya. Mereka mengembara dimulai dari Solo menuju ke Timur.. Setelah
perjalanan selama beberapa hari, tibalah rombongan tersebut pada suatu tempat yang
masih sepi penduduknya namun sangat Asri. Mereka memutuskan berheti untuk
istirahat. Tempat mereka beristirahat memang cukup teduh. Di situ mereka menempati
di sebuah gubuk kecil yang kosong. Karena capeknya mereka pu tertidur pulas dan
begitu bagun tahu – tahu hari sudah malam. Untuk mengetahui suasana di malam
hari, mereka keluar dari gubuknya dan mereka kaget ternyata ada sorot remang-remang
seperti lampu yang menyala di suatu tempat. Melihat lampu yang menyala,
Tringgolo berama rombongan meyakini bahwa itu adalah rumah penduduk, kemudian
Tringgolo dan rombongan memutuskan untuk mendekati remang-remang lampu
ublik..... ternyata disitu ada sebuah gubuk besar beratap ranting daun .... Tringgolo
mengetuk pintu... tok...tok....tok.... ”kulo nuwun......” Tringgolo mengucapkan
salam yang mengisaratkan ingin bertamu. Wajah rombongan terpusat pada pintu
yang di ketok dengan harapan untuk dibukakan..... tahu- tahu dari arah belakang
rombongan ada suara ”monggoo” suara yang
memiliki aura berkekuatan tinggi di barengi dengan datangya angin yang mengakibatkan
rombongan tersebut terhenyak .. dan seluruh tubuh merekan menjadi gemetar. Begitu
mereka menoleh kebelakang, ternyata ada seorang setengah tua berjanggut putih
yang terlihat sangat berwibawa...
Tak lama kemudian rombongan disuruh masuk dan disuruh duduk di tikar yang terbuat
dari daun pandan (kloso pandan). Mereka saling berkenalan...
Pemilik Rumah: ”kisanak ini siapa
dan dari mana kok malam-malam datang ke gubuk saya bersama rombongan”....
pemilik rumah itu bertanya.
Tringgolo : ”saya Tringgolo sebelumnya kami minta maaf
telah mengganggu kamardikan penjenengan......kami rombongan dari solo yang
sedang menggembara.... kalau boleh kami
ingin menginap di sini.”
Pemilik rumah : ”La si kecil ini siapa kisanak..”
Tringgolo : ” ini
adalah anak saya satu satunya namanya Andini ....” oo iya mbah mohon maaf sebelumnya kami kalau
memanggil mbah ini siapa?...
Pemilik Rumah: ”Tidak apa apa...
orang-orang di sini menyebut saya adalah mbah Ploso... dan ini adalah istri
saya Anggoni dan ini adalah anak saya satu satunya bernama Songgo. Saya
sekeluarga mengucapkan selamat datang ke gubuk saya...namun adanya ya seperti
ini” ...
Mbah Ploso menjawab dengan merendah, karena tahu bahwa yang datang ini juga
bukan orang sembarangan dilihat dari pakaianya tentu seorang priyai....
Tringgolo : ”walah.... ini
sudah lebih dari cukup mbah.... oh iya apa nama dusun ini mbah...”
Mbah Ploso : ”Dusun ini namanya Dusun Purwosari .....”
Dari pembicaraan yang disampaikan oleh Tringgolo, mbah Ploso mulai tahu
kalau tamunya ini adalah orang baik-baik dan santun..... Pembicaraan terus
berlangsung dan semakin akrab. Pada kesesokan harinya mereka berbagi tugas
untuk untuk membersihkan...di sekitar rumah mbah Ploso karena ia merasa bahwa
di sini telah di jamu dengan baik meskipun hanya sekedarnya. Sehingga rumah
mbah Ploso yang semula masih banyak belukar di kanan kiri, sekarang sudah
tampak rapih, dan hari hari berikutnya mereka pun membantu mencari nafkah...
ada yang menggarap tegalanya, ... ada yang pergi kesawah
Waktu demi waktu... hari demi hari... terus berjalan dan rombongan
Tringgolo merasa semakin lama semakin kerasan hidup di daerah ini. Pada suatu
hari saat mereka sedang bekerja
Tringgolo beserta temanya berbisik, agak terheran... ”ini kok ada
beberapa pemuda yang datang dengan pakian hitam-hitam ada apa ya.?.....
segeralah meraka mencari tahu dan ternyata pemuda yang berpakaian hitam tadi
langsung menuju ke belakang rumah mbah Ploso untuk mengadakan latihan
kanuragan. Melihat hal seperti itu.......hati
Tringgolo ketua pimpinan rombongan itu tertegun.... ”woow...sudah ku
duga mbah Plosi ini memang bukan orang sembarangan”.... gumamnya dalam hati,
sehingga pada sore harinya Tringgolo dan teman temanya memberanikan diri untuk
meminta kepada mbah Ploso untuk dijadikan murid..... melihat Tringgolo sudah
dianggap keluarga di sini maka mbah Ploso pun menjawab..... ”tidak usah jadi
murid.... kalau memang ingin ikut latihan ya... sumonggo saja..” ... mendengar
jawaban tersebut, Tringgolo hatinya sangat senang.
Begitulah pertemuan antara mbha Ploso dengan Ki Tringgolo yang terjalin
dengan baik, sehingga disetiap harinya mereka selalu membantu mbah Ploso,
sedang Istri dan anak Ki Tringgolo membantu di dapur untuk meramu Obat. Sedang
kalau malam mereka mengikuti olah kanuragan.
Lima belas tahun kemudian Tringgolo dan temanya hidup bersama penduduk dan
sudah memiliki Rumah tinggal sendiri. Memang di dusun Purwosari masih banyak
tanah yang belum bertuan, jadi siapapun yang menginginkan mendirikan rumah di
situ masih bebas belum ada aturannya. Dusun Purwosari semakin lama semakin berkembang, penduduknya
juga semakin bertambah meskipun hanya satu dua orang. Atas bimbingan ki Tringgolo
kepada penduduk setempat dalam pengolahan tanah, maka dusun tersebut mulai
menghasilkan hasil panen yang melimpah. Karena di dusun tersebut belum ada
pimpinanya, maka para penduduk memilih Ki Tringgolo untuk memimpin desa itu
atau bisa dikatakan sebagai lurah. Hubungan antara Lurah Tringgolo dengan mbah
Ploso juga semakin baik, hal ini ditandai dengan di jodohkanya Andini Putri Tringgolo dengan Songgo Putra mbah
Ploso.
Songgo dan Andini adalah pasangan
suami istri yang serasi, Karena Songgo di samping memiliki ilmu olah kanuragan,
ia juga memiliki Ilmu pengobatan yang handal hasil belajar dari bapak dan
ibunya, sedangkan Andini selama tinggal
bersama mbah Ploso mulai dari kecil ia telah belajar banyak tentang ilmu
ramuan. Keduanya hidup bersama di padepokan Ploso Kerep bersama ayah ibunya.
Pekerjaan mereka setiap hari melayani tamu- tamu bapaknya yang minta pengobatan,
dengan meramu jamu yang disesuaikan dengan apa yang di derita oleh pasiennya.
Sepuluh tahun kemudian Songgo telah dikaruniai seorang putra yang diberi
nama Gilang. Mereka hidup damai dan penuh kasih sayang. Pekerjaan tiap harinya
adalah meneruskan pekerjaan bapaknya yaitu menekuni pengobatan, karena sudah
tiga tahun yang silam mereka telah ditinggal bapak ibunya . Andini yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, diapun
menekuni pengobatan untuk pasien putri dan juga menolong orang yang akan
melahirkan. Untuk sementara para pengikut mbah Ploso yang masih ada diserahkan
kepada murid yang paling tua.
Waktu terus berjalan, Ki Songgo pun menjadi terkenal, banyak tamu-tamu dari
luar daerah yang datang untuk mendapatkan pengobatan. Tidak terasa putranya
yang bernama gilang sudah beranjak dewasa... Gilang adalah satu satunya putra
dari Ki Songgo yang hidupnya selalu di
manja, apun permintaanya selalu dituruti. Dalam kehidupan sehari hari seperti
biasa Ki Songgo memberikan wejangan-wejangan kepada murid-muridnya, memberikan
pengobatan terhadap tamu-tamunya, dan
Nyi Andini istri dari Ki Songgo juga memberikan pengobatan untuk tamu putri
dan menolong bagi mereka yang melahirkan. Sementara putranya, Gilang, berubah
mentalnya menjadi seorang putra yang manja, apapun yang dimintanya harus
dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang anak yang semakin lama semakin malas.
Kerjanya hanya keluyuran kesana kemari tidak tahu tujuan yang jelas Ia sama sekali tidak mau belajar pengobatan
maupun membantu ibu bapaknya untuk melayani pasien. Pada suatu ketika ia di
panggil ibunya........
Ibu : ”Nak! ........ Ayo bantu Simbok menyiapkan
ramuan untuk tamu-tamu bapakmu”. .....ajak sang Ibu.
Gilang : ”Tidak, mbok! Hari
ini aku ada janji dengan teman untuk main”, .... jawab Gilang menolak.
Ibu : ”Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu
kualahan meramu obat ini, Nak”..? ............. tanya sang Ibu mengiba.
Gilang : ”saya sudah terlanjur janji dengan temanku
mbok... nanti kalau nggak berangkat bisa di amuk.. saya nanti.”... .
Ibu : ”Temanmu itu
siapa..?....... laki-laki atau
perempuan..”. ... Tanya... Ibunya
Gilang : “Simbok nggak usah ikut campur lah.”... jawab
gilang dengan sinisnya.
Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi.
Dengan perasaan sedih, ia berkata... kalau begitu hati hati ya ..nak !... dan ia
pun melanjutkan untuk bekerja untuk meramu obat untuk para pasien bapaknya....
Gilang yang pergi dengan temanya bernama Nyoto yang perianganya agak kurus
kerempeng, sedang gilang perawaknya gemuk..mereka ketemuan disuatu tempat yang ternyata
dia diajak adu jago ....
Nyoto ”Lang... sudah
bawa uangnya .....”
Gilang : ”Sudah....
nih......” (sambil merogoh kantong
bajunya berisi uang) ......... ”mana jagonya....” ( Gilang balik tanya)
Nyoto : ”Beres..... ini
jagonya pasti nanti menang” .. ..... jawb totok sambil menuding jago yang di
taruh dalam tas...
Gilang : ”ya sudah ...
kalau begitu ayo berangkat.......!
Lalu mereka pergi ke suatu tempat untuk beradu jago, mereka berpindah
pindah dari tempat satu ke tempat lainya. Begitulah pekerjaan si Gilang setiap
harinya selalu dolan dengan Nyoto untuk adu jago.dengan taruhan uang. Gilang
yang menyediakan uang, sedangkan Nyoto pemilik jagonya.
Sementara bapak dan ibunya di Rumah terus bekerja melayani tamu, meramu
obat dan melatih kanuragan kepada murid – muridnya. Waktu itu sudah hampir
pukul 17.00 WIB Gilang belum kelihatan pulang maka munculah rasa kuatir,
kemudian Ki Songgo bertanya kepada
istrinya Nyi Antini..
Ki Songgo : ”Mbokne....... Gilang
jam sekian kok belum pulang kemana... ?
Nyi : ”Nggak tahu
Pakne.... orang tadi saya suruh bantu bantu... katanya dolan sama temanya....
Ki Songgo : ”Temanya siapa..?.....
(tanya ki Songgo kepada Istrinya)
Nyi : ”Itulah ...
tadi yang membuat saya agak jengkel.. wong.. ditanya mau kemana... dengan siapa
malah jawab ”simbok jangan ikut campur”.... begitu lo pak ne......
Ki Songgo : ”Walah ...... la kok
seperti itu ya mbokne anake dewe.... mbokne yo sing sregep ngandani....
Nyi : ”ya ..
sudah pakne.... saya sudah tidak kurang-kurang untuk ngandani si gilang.
Tidak
lama kemudian Si Gilangpun muncul dari luar....
Ki Songgo : ”Le... Gilang... duduk
sini nak.”... Ki Songgo memanggil gilang
dengan nada rendah..
Gilang : ”Ya Pak..... ada
apa.”. Gilang menjawab dengan rasa tidak bersalah.
Ki Songgo : ”Kamu Jam sekian kok
baru pulang kemana saja....?
Gilang : ”Dolan Pak.......
Ki Songgo : ”Dolan kemana.........
Gilang : ”Teman saya......
Ki Songgo : ”Temanmu itu siapa...”....
namun Gilang diam saja.. nggak mau menjawab.... sehingga ki menanya ulang
dengan nada yang agak tinggi sambil menahan emosinya.... ”lee.... Temanmu itu
siapa..... rumahnya dimana.....??”
Gilang : ”Nyoto Pak....
”.... Jawab gilang sambilmennduk..
Ki Songgo : ”ya sudah mandi
sana.... terus nanti ikut latihan kanuragan dengan teman-teman ”....
Mungkin Ki Songgo takut nanti emosinya meluap...dan
munculkata-kata yang tidak di inginkan kepada anaknya. Ki Songgo termasuk orang yang suka Topo Broto seperti
ayahnya, sehingga kata-kata yang diucapkan bisa malati (dikabulkan). Pada suatu
hari ketika Nyi Andini sedang mencari daun-daun di dusun wage untuk bahan
obat-obatan...secara tidak sengaja memergoki anaknya yang sedang adu jago.
Begitu melihat perbuatan anaknya yang sedang adu jago... Nyi Andini dengan nada
setengah emosi memanggil gilang...”oo alah lee...lee ternyata tiap hari kamu
adu jago di sini to le......” nyi Andini
menyapa anaknya..... karena Gilang merasa bersalah takut nanti kalau di adukan
pada ayahnya, maka gilang pun bersembunyi di bali pohon besar. ....” Le
Gilang....” panggilan nyi Andini yang
melihat gilang mengumpat di balik Pohon. Namun Gilang sama sekali tidak mau
menjawab.... dia cuma diam saja.... ”Gilang....... nak..... Gilang Kamu
dimana.... di panggil ibunya kok diam saja seperti batu”...... karena gilang juga masih diam saja, maka Nyi Andini
bergegas untuk mencari gilang..... menuju di balik pepohonan. Nyi Andini sambil
memanggil manggil.... ”Gilang.......... Gilaang...... ” namun gilang tetap diam
saja. Nyi Andini mencari kesana kemari namun tidak ketemu dan tidak ada
tanda-tanda jejak gilang......... setelah sampai di bawah pohon tempat Gilang
mengumpat.... ternyata gilang tidak ada.... adanya adalah sebuah batu besar
yang mirip dengan tubuh manusia.......... hati Nyi Andini tersentak... kaget Luar
biasa.... akhirnya Nyi Andini pun Pinsan. Beberapa jam kemudian Nyi Andini
telah terbagun dari pingsanya..... hatinya gemetar dan mulai menyadari bahwa
anaknya telah menjadi batu atas ucapanya. Akhir Nyi Andini menangis sambil
mengelus elus batu tersebut......
Sementara Ki Songgo yang dirumah menunggu istrinya kok tidak pulang-pulang
mulai curiga. Maka Ki Songgo memutuskan untuk mencari Istrinya diseluruh daerah
Purwosari.... dari arah selatan menuju ke Utara terus ditelusuri. Hari sudah
mulai malam, namun Ki songgo tidak patah semangat untuk mencari istrinya..... Akirnya
Ki Songgo mendapat firasat kalau istrinya berada di dusun wage, maka Ki songgo
berbergegas menuju ke dusun wage.... dan mendengar suara tangisan.. dan yakin
dia adalah istrinya maka Ki Songgo memanggil istrinya dengan suara
kencang...... . Tak lama kemudian Nyi Andini ditemukan oleh Ki Songgo yang
menangis tersedu-sedu dengan mengelus-elus batu tadi.
Ki songgo : ” Bune.... bune.... mengapa kamu menangis
dengan mengelus-elus batu....... ada apa?”....... Nyi Andini tidak menghiraukan
sapaan suaminya.... dia terus menangis.... kemudian Ki Songgo memapah istrinya
kemudian ditanya ” ada apa.. bune ?”...
Ny Antini : ”pakne Gilang pakne” sahut Nyi andini.... ”
Ki Songgo : ”Gilang kenapa ... mana Gilang ?”
Nyi Andini menagisnya semaki keras dan mengelus elus batu lagi.... dan
menjawab.... ”pakne.... Gilang jadi batu”....... Melihat kondisi seperti itu...
Ki songgo sangat marah kepada istrinya..... ”Pasti ini ulah kamu bune......
kamu sudah mengucap sesuatu yang seharusnya tidak kamu ucapkan kepada anak
kita........ Apa perasaanmu jika kamu menjadi gilang...... hah”... meski Ki
songgo termasuk orang penyabar penuh perhatian terhadap sesama, namun kena
cobaan kehilangan anaknya hati Ki Songgo sangat geram dan benar benar marah
kepada istrinya. Begitu Nyi Andini di marahi oleh suaminya.... seketika itu Nyi
andini sudah tidak terdengar tangisanya..... dia diam, dipanggil-panggil oleh suaminya juga tidak
menjawab.... dengan sekejap mata ternyata Nyi Andini juga menjadi batu. Melihat
seperti itu Ki Songgo hatinya hancur telah kehilangan anak dan istrinya menjadi
batu. Kemudian Ki Songgo cancut tali wondo untuk bertapa meminta kepada Tuhan agar
kondisi istri dan anaknya dikembalikan seperti semula. Bertahun tahun dia
bertapa sampai tempat bertapa ditumbuhi semak belukar yang seolah olah semak
belukar itu telah melindungi Ki Songgo dari terpaan angin dan guyuran hujan tak
ubahnya seperti langit menyelubungi bumi. sehingga tempat itu oleh penduduk setempat
diberi nama Songgo langit, sedang dua batu tadi orang menyebutnya dengan nama
Watu Gilang, dan Padepokan Mbah Ploso dan juga Ki songgo sekarang dinamakan
PLOSO KEREP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1. Berikan komentar di sini
2. Tetapi Komentar tentang Postingan kami, Bukan Iklan.
3. Jika terdapat iklan terpaksa kami hapus