menu1

Kamis, 28 Juli 2016

KI SONGGOLANGIT dan WATU GILANG



KI SONGGOLANGIT dan WATU GILANG

P
loso Kerep adalah sebuah tempat yang di keramatkan oleh warga desa Purwosari Kecamatan Kwadungan. Tempat tersebut terletak persis di tengah tengah desa Purwosari yang dulunya merupakan sebuah desa terpencil, penduduknya masih dapat dihitung dengan jari. Di desa itu terdapat sebuah padepokan yang disebut dengan padepokan Ploso Kerep. Mengapa dikatakan Ploso Kerep, karena di situ banyak ditumbuhi oleh batang Ploso yang konon merupakan jenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit (dalam bahasa setempat disebut Zuleten semacam cacar) yang biasa menyerang pada anak-anak, dan tumbuhan tersebut sangat lebat, maka oleh orang setempat dikatakan kerep (lebat) akhirnya menjadi Ploso Kerep. Padepokan Ploso Kerep dimiliki oleh seorang kakek yang diberi julukan Mbah Ploso.
Mbah Ploso meski sudah tua tapi sangat sakti, karena semenjak kecil mbah Ploso hobynya adalah topo broto. Jadi tak aneh kalau dia memiliki beberapa pengikut yang ingin nyecep ilmu. Mbah ploso hidup dengan Putra satu-satunya yang bernama Songgo. Karena Songgo adalah putra dari pertapa sakti, maka Songgo merupakan pemuda yang paling sakti di Desa itu.. Pengikut mbah Ploso jumlahnya tidak banyak, namun kalau di adu tanding... mereka terlihat sakti-sakti juga. Bahkan menurut sejarahnya Padepokan Ploso Kerep ini merupakan cikal bakal penduduk desa Purwosari.
Perkembangan desa Purwoari berawal dari penggembaraan seseorang yang bernama Tinggolo, dia bersama istri dan anaknya yang masih kecil sekitar berumur 5 tahun. Agar perjalanan lebih aman, maka Tringgolo mengajak 2 temanya. Mereka mengembara dimulai dari Solo menuju ke Timur.. Setelah perjalanan selama beberapa hari, tibalah rombongan tersebut pada suatu tempat yang masih sepi penduduknya namun sangat Asri. Mereka memutuskan berheti untuk istirahat. Tempat mereka beristirahat memang cukup teduh. Di situ mereka menempati di sebuah gubuk kecil yang kosong. Karena capeknya mereka pu tertidur pulas dan begitu bagun tahu – tahu hari sudah malam. Untuk mengetahui suasana di malam hari, mereka keluar dari gubuknya dan mereka kaget ternyata ada sorot remang-remang seperti lampu yang menyala di suatu tempat. Melihat lampu yang menyala, Tringgolo berama rombongan meyakini bahwa itu adalah rumah penduduk, kemudian Tringgolo dan rombongan memutuskan untuk mendekati remang-remang lampu ublik..... ternyata disitu ada sebuah gubuk besar beratap ranting daun .... Tringgolo mengetuk pintu... tok...tok....tok.... ”kulo nuwun......” Tringgolo mengucapkan salam yang mengisaratkan ingin bertamu. Wajah rombongan terpusat pada pintu yang di ketok dengan harapan untuk dibukakan..... tahu- tahu dari arah belakang rombongan ada suara ”monggoo”  suara yang memiliki aura berkekuatan tinggi di barengi dengan datangya angin yang mengakibatkan rombongan tersebut terhenyak .. dan  seluruh tubuh merekan menjadi gemetar. Begitu mereka menoleh kebelakang, ternyata ada seorang setengah tua berjanggut putih yang terlihat sangat berwibawa...
Tak lama kemudian rombongan disuruh masuk dan disuruh duduk di tikar yang terbuat dari daun pandan (kloso pandan). Mereka saling berkenalan...
Pemilik Rumah:     ”kisanak ini siapa dan dari mana kok malam-malam datang ke gubuk saya bersama rombongan”.... pemilik rumah itu bertanya.
Tringgolo          :     ”saya Tringgolo sebelumnya kami minta maaf telah mengganggu kamardikan penjenengan......kami rombongan dari solo yang sedang menggembara.... kalau boleh  kami ingin menginap di sini.”
Pemilik rumah :     ”La si kecil ini siapa kisanak..”
Tringgolo          :      ini adalah anak saya satu satunya namanya Andini ....”  oo iya mbah mohon maaf sebelumnya kami kalau memanggil mbah ini siapa?...
Pemilik Rumah:     ”Tidak apa apa... orang-orang di sini menyebut saya adalah mbah Ploso... dan ini adalah istri saya Anggoni dan ini adalah anak saya satu satunya bernama Songgo. Saya sekeluarga mengucapkan selamat datang ke gubuk saya...namun adanya ya seperti ini” ...
Mbah Ploso menjawab dengan merendah, karena tahu bahwa yang datang ini juga bukan orang sembarangan dilihat dari pakaianya tentu seorang priyai....
Tringgolo          : ”walah.... ini sudah lebih dari cukup mbah.... oh iya apa nama dusun ini mbah...”
Mbah Ploso      :  ”Dusun ini namanya Dusun Purwosari .....”
Dari pembicaraan yang disampaikan oleh Tringgolo, mbah Ploso mulai tahu kalau tamunya ini adalah orang baik-baik dan santun..... Pembicaraan terus berlangsung dan semakin akrab. Pada kesesokan harinya mereka berbagi tugas untuk untuk membersihkan...di sekitar rumah mbah Ploso karena ia merasa bahwa di sini telah di jamu dengan baik meskipun hanya sekedarnya. Sehingga rumah mbah Ploso yang semula masih banyak belukar di kanan kiri, sekarang sudah tampak rapih, dan hari hari berikutnya mereka pun membantu mencari nafkah... ada yang menggarap tegalanya, ... ada yang pergi kesawah
Waktu demi waktu... hari demi hari... terus berjalan dan rombongan Tringgolo merasa semakin lama semakin kerasan hidup di daerah ini. Pada suatu hari saat mereka sedang bekerja  Tringgolo beserta temanya berbisik, agak terheran... ”ini kok ada beberapa pemuda yang datang dengan pakian hitam-hitam ada apa ya.?..... segeralah meraka mencari tahu dan ternyata pemuda yang berpakaian hitam tadi langsung menuju ke belakang rumah mbah Ploso untuk mengadakan latihan kanuragan. Melihat hal seperti itu.......hati  Tringgolo ketua pimpinan rombongan itu tertegun.... ”woow...sudah ku duga mbah Plosi ini memang bukan orang sembarangan”.... gumamnya dalam hati, sehingga pada sore harinya Tringgolo dan teman temanya memberanikan diri untuk meminta kepada mbah Ploso untuk dijadikan murid..... melihat Tringgolo sudah dianggap keluarga di sini maka mbah Ploso pun menjawab..... ”tidak usah jadi murid.... kalau memang ingin ikut latihan ya... sumonggo saja..” ... mendengar jawaban tersebut, Tringgolo hatinya sangat senang.
Begitulah pertemuan antara mbha Ploso dengan Ki Tringgolo yang terjalin dengan baik, sehingga disetiap harinya mereka selalu membantu mbah Ploso, sedang Istri dan anak Ki Tringgolo membantu di dapur untuk meramu Obat. Sedang kalau malam mereka mengikuti olah kanuragan.
Lima belas tahun kemudian Tringgolo dan temanya hidup bersama penduduk dan sudah memiliki Rumah tinggal sendiri. Memang di dusun Purwosari masih banyak tanah yang belum bertuan, jadi siapapun yang menginginkan mendirikan rumah di situ masih bebas belum ada aturannya. Dusun Purwosari  semakin lama semakin berkembang, penduduknya juga semakin bertambah meskipun hanya satu dua orang. Atas bimbingan ki Tringgolo kepada penduduk setempat dalam pengolahan tanah, maka dusun tersebut mulai menghasilkan hasil panen yang melimpah. Karena di dusun tersebut belum ada pimpinanya, maka para penduduk memilih Ki Tringgolo untuk memimpin desa itu atau bisa dikatakan sebagai lurah. Hubungan antara Lurah Tringgolo dengan mbah Ploso juga semakin baik, hal ini ditandai dengan di jodohkanya Andini  Putri Tringgolo dengan Songgo Putra mbah Ploso.
Songgo dan Andini  adalah pasangan suami istri yang serasi, Karena Songgo di samping memiliki ilmu olah kanuragan, ia juga memiliki Ilmu pengobatan yang handal hasil belajar dari bapak dan ibunya,  sedangkan Andini selama tinggal bersama mbah Ploso mulai dari kecil ia telah belajar banyak tentang ilmu ramuan. Keduanya hidup bersama di padepokan Ploso Kerep bersama ayah ibunya. Pekerjaan mereka setiap hari melayani tamu- tamu bapaknya yang minta pengobatan, dengan meramu jamu yang disesuaikan dengan apa yang di derita oleh pasiennya.
Sepuluh tahun kemudian Songgo telah dikaruniai seorang putra yang diberi nama Gilang. Mereka hidup damai dan penuh kasih sayang. Pekerjaan tiap harinya adalah meneruskan pekerjaan bapaknya yaitu menekuni pengobatan, karena sudah tiga tahun yang silam mereka telah ditinggal bapak ibunya . Andini  yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, diapun menekuni pengobatan untuk pasien putri dan juga menolong orang yang akan melahirkan. Untuk sementara para pengikut mbah Ploso yang masih ada diserahkan kepada murid yang paling tua.
Waktu terus berjalan, Ki Songgo pun menjadi terkenal, banyak tamu-tamu dari luar daerah yang datang untuk mendapatkan pengobatan. Tidak terasa putranya yang bernama gilang sudah beranjak dewasa... Gilang adalah satu satunya putra dari Ki Songgo  yang hidupnya selalu di manja, apun permintaanya selalu dituruti. Dalam kehidupan sehari hari seperti biasa Ki Songgo memberikan wejangan-wejangan kepada murid-muridnya, memberikan pengobatan terhadap tamu-tamunya, dan  Nyi Andini istri dari Ki Songgo  juga memberikan pengobatan untuk tamu putri dan menolong bagi mereka yang melahirkan. Sementara putranya, Gilang, berubah mentalnya menjadi seorang putra yang manja, apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang anak yang semakin lama semakin malas. Kerjanya hanya keluyuran kesana kemari tidak tahu tujuan yang jelas  Ia sama sekali tidak mau belajar pengobatan maupun membantu ibu bapaknya untuk melayani pasien. Pada suatu ketika ia di panggil ibunya........
Ibu                  : ”Nak! ........ Ayo bantu Simbok menyiapkan ramuan untuk tamu-tamu bapakmu”. .....ajak sang Ibu.
Gilang            : ”Tidak, mbok! Hari ini aku ada janji dengan teman untuk main”, .... jawab Gilang menolak.
Ibu                  :  ”Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu kualahan meramu obat ini, Nak”..? .............  tanya sang Ibu mengiba.
Gilang            :  ”saya sudah terlanjur janji dengan temanku mbok... nanti kalau nggak berangkat bisa di amuk.. saya nanti.”... .
Ibu                  : ”Temanmu itu siapa..?.......  laki-laki atau perempuan..”. ... Tanya... Ibunya
Gilang            :  “Simbok nggak usah ikut campur lah.”... jawab gilang dengan sinisnya.

Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia berkata... kalau begitu hati hati ya ..nak !... dan ia pun melanjutkan untuk bekerja untuk meramu obat untuk para pasien bapaknya....
Gilang yang pergi dengan temanya bernama Nyoto yang perianganya agak kurus kerempeng, sedang gilang perawaknya gemuk..mereka ketemuan disuatu tempat yang ternyata dia diajak adu jago ....
Nyoto               ”Lang... sudah bawa uangnya .....”
Gilang            :  ”Sudah.... nih......”  (sambil merogoh kantong bajunya berisi uang) ......... ”mana jagonya....” ( Gilang  balik tanya)
Nyoto             :  ”Beres..... ini jagonya pasti nanti menang” .. ..... jawb totok sambil menuding jago yang di taruh dalam tas...
Gilang            :  ”ya sudah ... kalau begitu ayo berangkat.......!
Lalu mereka pergi ke suatu tempat untuk beradu jago, mereka berpindah pindah dari tempat satu ke tempat lainya. Begitulah pekerjaan si Gilang setiap harinya selalu dolan dengan Nyoto untuk adu jago.dengan taruhan uang. Gilang yang menyediakan uang, sedangkan Nyoto pemilik jagonya.
Sementara bapak dan ibunya di Rumah terus bekerja melayani tamu, meramu obat dan melatih kanuragan kepada murid – muridnya. Waktu itu sudah hampir pukul 17.00 WIB Gilang belum kelihatan pulang maka munculah rasa kuatir, kemudian Ki Songgo  bertanya kepada istrinya Nyi Antini..
Ki Songgo      : ”Mbokne....... Gilang jam sekian kok belum pulang kemana... ?
Nyi                  : ”Nggak tahu Pakne.... orang tadi saya suruh bantu bantu... katanya dolan sama temanya....
Ki Songgo      :  ”Temanya siapa..?..... (tanya ki Songgo  kepada Istrinya)
Nyi                  :  ”Itulah ... tadi yang membuat saya agak jengkel.. wong.. ditanya mau kemana... dengan siapa malah jawab ”simbok jangan ikut campur”.... begitu lo pak ne......
Ki Songgo      :  ”Walah ...... la kok seperti itu ya mbokne anake dewe.... mbokne yo sing sregep ngandani....
Nyi                  :  ”ya .. sudah pakne.... saya sudah tidak kurang-kurang untuk ngandani si gilang.
Tidak lama kemudian Si Gilangpun muncul dari luar....
Ki Songgo      :  ”Le... Gilang... duduk sini nak.”... Ki Songgo  memanggil gilang dengan nada rendah..
Gilang            :  ”Ya Pak..... ada apa.”. Gilang menjawab dengan rasa tidak bersalah.
Ki Songgo      :  ”Kamu Jam sekian kok baru pulang kemana saja....?
Gilang            :  ”Dolan Pak.......
Ki Songgo      :  ”Dolan kemana.........
Gilang            :  ”Teman saya......
Ki Songgo      :  ”Temanmu itu siapa...”.... namun Gilang diam saja.. nggak mau menjawab.... sehingga ki menanya ulang dengan nada yang agak tinggi sambil menahan emosinya.... ”lee.... Temanmu itu siapa..... rumahnya dimana.....??”
Gilang            :  ”Nyoto Pak.... ”.... Jawab gilang sambilmennduk..
Ki Songgo      :  ”ya sudah mandi sana.... terus nanti ikut latihan kanuragan dengan teman-teman ”....

Mungkin  Ki Songgo  takut nanti emosinya meluap...dan munculkata-kata yang tidak di inginkan kepada anaknya. Ki Songgo  termasuk orang yang suka Topo Broto seperti ayahnya, sehingga kata-kata yang diucapkan bisa malati (dikabulkan). Pada suatu hari ketika Nyi Andini sedang mencari daun-daun di dusun wage untuk bahan obat-obatan...secara tidak sengaja memergoki anaknya yang sedang adu jago. Begitu melihat perbuatan anaknya yang sedang adu jago... Nyi Andini dengan nada setengah emosi memanggil gilang...”oo alah lee...lee ternyata tiap hari kamu adu jago di sini to  le......” nyi Andini menyapa anaknya..... karena Gilang merasa bersalah takut nanti kalau di adukan pada ayahnya, maka gilang pun bersembunyi di bali pohon besar. ....” Le Gilang....” panggilan  nyi Andini yang melihat gilang mengumpat di balik Pohon. Namun Gilang sama sekali tidak mau menjawab.... dia cuma diam saja.... ”Gilang....... nak..... Gilang Kamu dimana.... di panggil ibunya kok diam saja seperti batu”......  karena gilang juga masih diam saja, maka Nyi Andini bergegas untuk mencari gilang..... menuju di balik pepohonan. Nyi Andini sambil memanggil manggil.... ”Gilang.......... Gilaang...... ” namun gilang tetap diam saja. Nyi Andini mencari kesana kemari namun tidak ketemu dan tidak ada tanda-tanda jejak gilang......... setelah sampai di bawah pohon tempat Gilang mengumpat.... ternyata gilang tidak ada.... adanya adalah sebuah batu besar yang mirip dengan tubuh manusia.......... hati Nyi Andini tersentak... kaget Luar biasa.... akhirnya Nyi Andini pun Pinsan. Beberapa jam kemudian Nyi Andini telah terbagun dari pingsanya..... hatinya gemetar dan mulai menyadari bahwa anaknya telah menjadi batu atas ucapanya. Akhir Nyi Andini menangis sambil mengelus elus batu tersebut......
Sementara Ki Songgo yang dirumah menunggu istrinya kok tidak pulang-pulang mulai curiga. Maka Ki Songgo memutuskan untuk mencari Istrinya diseluruh daerah Purwosari.... dari arah selatan menuju ke Utara terus ditelusuri. Hari sudah mulai malam, namun Ki songgo tidak patah semangat untuk mencari istrinya..... Akirnya Ki Songgo mendapat firasat kalau istrinya berada di dusun wage, maka Ki songgo berbergegas menuju ke dusun wage.... dan mendengar suara tangisan.. dan yakin dia adalah istrinya maka Ki Songgo memanggil istrinya dengan suara kencang...... . Tak lama kemudian Nyi Andini ditemukan oleh Ki Songgo yang menangis tersedu-sedu dengan mengelus-elus batu tadi.
Ki songgo      :  ” Bune.... bune.... mengapa kamu menangis dengan mengelus-elus batu....... ada apa?”....... Nyi Andini tidak menghiraukan sapaan suaminya.... dia terus menangis.... kemudian Ki Songgo memapah istrinya kemudian ditanya ” ada apa.. bune  ?”...
Ny Antini       :  ”pakne Gilang pakne”  sahut Nyi andini.... ”
Ki Songgo      :  ”Gilang kenapa ... mana Gilang ?”
Nyi Andini menagisnya semaki keras dan mengelus elus batu lagi.... dan menjawab.... ”pakne.... Gilang jadi batu”....... Melihat kondisi seperti itu... Ki songgo sangat marah kepada istrinya..... ”Pasti ini ulah kamu bune...... kamu sudah mengucap sesuatu yang seharusnya tidak kamu ucapkan kepada anak kita........ Apa perasaanmu jika kamu menjadi gilang...... hah”... meski Ki songgo termasuk orang penyabar penuh perhatian terhadap sesama, namun kena cobaan kehilangan anaknya hati Ki Songgo sangat geram dan benar benar marah kepada istrinya. Begitu Nyi Andini di marahi oleh suaminya.... seketika itu Nyi andini sudah tidak terdengar tangisanya..... dia diam,  dipanggil-panggil oleh suaminya juga tidak menjawab.... dengan sekejap mata ternyata Nyi Andini juga menjadi batu. Melihat seperti itu Ki Songgo hatinya hancur telah kehilangan anak dan istrinya menjadi batu. Kemudian Ki Songgo cancut tali wondo  untuk bertapa meminta kepada Tuhan agar kondisi istri dan anaknya dikembalikan seperti semula. Bertahun tahun dia bertapa sampai tempat bertapa ditumbuhi semak belukar yang seolah olah semak belukar itu telah melindungi Ki Songgo dari terpaan angin dan guyuran hujan tak ubahnya seperti langit menyelubungi bumi. sehingga tempat itu oleh penduduk setempat diberi nama Songgo langit, sedang dua batu tadi orang menyebutnya dengan nama Watu Gilang, dan Padepokan Mbah Ploso dan juga Ki songgo sekarang dinamakan PLOSO KEREP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1. Berikan komentar di sini
2. Tetapi Komentar tentang Postingan kami, Bukan Iklan.
3. Jika terdapat iklan terpaksa kami hapus

.